Istilah Santri tentunya Sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Negara yang di dalamnya terdapat banyak ragam bahasa, suku dan budaya. Yang tentunya tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dengan mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Nyatanya, Para Santri sudah ber-MoU dengan Masyarakat

Oleh Ahmad Zahruddin*

 

Istilah Santri tentunya Sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Negara yang di dalamnya terdapat banyak ragam bahasa, suku dan budaya. Yang tentunya tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dengan mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Seringkali ketika kita berbicara tentang istilah “Santri”, kita pasti akan berselancar dengan puluhan bahkan ratusan definisi menurut para ahli. Definisi yang membuat istilah santri menjadi lebih bersinergi karena dideskripsikan dengan banyak pilihan kata dan diksi. Bahkan tak jarang pula kita dapat menemui beberapa orang atau tokoh yang bertukar fikiran dalam ber-persepsi. Khususnya dalam menjelaskan definisi “Santri” ini.

Saat kita merujuk kepada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Kita akan mendapati definisi “Santri” adalah sebagai berikut; (1) orang yang mendalami agama islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; (3) orang yang saleh.

 Dari situ kita tau bahwa KBBI saja mempunyai tiga definisi untuk istilah Santri. Jadi tak ayal, kita pun masih akan berjumpa dengan puluhan bahkan ratusan definisi dengan beragam versi. Meskipun kita tau, Santri itu sangat identik dengan arti globalnya yaitu seseorang yang yang mengikuti dan mempelajari agama islam di pondok pesantren dari para Kyai.

Tak ketinggalan, Beberapa  tokoh berpengaruh di Indonesia pun turut menyumbangkan definisi untuk istilah Santri menurut versi mereka masing-masing. Diantaranya;

“Santri itu, bukan yang mondok (menetap di pondok) saja. Tapi, siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah SANTRI” (KH. Musthofa Bisri atau Gus Mus).

Dari definisi di atas, Gus Mus mendeskripsikan siapapun yang mempunyai akhlak seperti santri, sejatinya dialah seorang Santri meskipun tak pernah mondok. Adapun kata “akhlak” yang dimaksudkan oleh beliau dalam definisinya yaitu sikap Tawadhu (Rendah hati) kepada Tuhannya, dan Tawadhu kepada orang yang derajatnya lebih tinggi diatasnya.

 Karena ketika seseorang mempunyai sikap Tawadhu dia akan selalu melihat dirinya tidak memiliki nilai lebih dari yang lainnya dan akan selalu menjauhi sikap takabur (sombong) di hatinya.

Sementara itu, ketua umum PBNU KH. Said Aqil Siroj menyatakan bahwa Santri adalah “umat yang menerima ajaran-ajaran islam dari para Kyai”. Dan Para Kyai itu belajar islam dari Guru-gurunya yang terhubung sampai Rosulullah SAW. Selain berakhlakul karimah, santri juga menjunjung tinggi budaya. Bahkan, menjadikan budaya tersebut sebagai insfrastruktur agama dalam berkiprah.

Nah, dari statement diatas, Beliau menunjukan bahwa Santri itu bisa berlaku untuk siapa saja tanpa terkecuali. Yang menerima ajaran-ajaran islam dari para kyai dan ulama yang bermuara kepada Rosulullah manusia paling mulia.

Yang berarti tak ada batasan usia untuk menuju sebuah makna, yang berarti tak ada masa purna sepanjang masa. Meskipun sekarang santri itu sudah atau akan menjadi ulama, sejatinya dulu dan sekarang mereka itu sama. Sama-sama pernah memberi dan menerima (ilmu agama).

Demikianlah beberapa definisi untuk istilah “Santri”. Dari sekian banyak definisi yang beragam untuk istilah “Santri”, semoga kita semua tak lupa bahwa hampir semua orang akan selalu husnudzon ketika mendengar istilah “Santri”. Husnudzon bahwa Santri itu adalah mereka yang mempelajari ajaran-ajaran agama islam yang dilandasi dengan budi pekerti.

Dan Semoga kita semua (para Santri) tidak akan pernah mengecewakan Husnudzon orang-orang terhadap “Santri” dan bisa selalu menjaga kepercayaan yang telah dilabeli orang-orang terhadap “Santri”. Disitulah letak MoU yang yang kita pahami.

*) Mahasiswa PBA Semester VII Kelas Jurnalistik.