Kuliah Kerja Nyata, biasa disebut KKN merupakan bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuan pada waktu dan daerah tertentu di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan KKN berlangsung antara satu sampai dua bulan dan bertempat di daerah setingkat desa. Biasanya mahasiswa UIN
Gemblengan Bapak Cina
Oleh Evi Nur Rohmah (Mahasiswa PBA Angkatan 2016)
Kuliah Kerja Nyata, biasa disebut KKN merupakan bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuan pada waktu dan daerah tertentu di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan KKN berlangsung antara satu sampai dua bulan dan bertempat di daerah setingkat desa. Biasanya mahasiswa UIN Malang menyebutnya dengan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa).
KKM sejatinya adalah gudang berbagai cerita. Umumnya tentang cerita manis tentang ajang pencarian jodoh, cerita mistis menakutkan dan cikal bakal permusuhan dan persahabatan terjalin. Yah, klise kehidupan ketika bertemu orang baru memang begitu. Tergantung keberuntungan masing-masing saat mendapatkan kelompok yang baik atau sebaliknya, karena sistem pengaturan kelompok terbagi berdasarkan campuran dari seluruh jurusan yang ada di kampus. Di KKMku ada cerita konyol yang sampai sekarang masih aku ingat.
Saat di penghujung kegiatan KKM, bu Umi – salah satu perangkat desa, memberikan tugas untuk sensus penduduk di desa Sempalwadak. Kebetulan, aku yang jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) satu kelompok dengan Nabila (jurusan Pendidikan Ilmu PengetahuanSosial)dan Rohma(jurusan Psikologi). Saatitujuga berbarengan dengan mengurus Kartu Rencana Studi (KRS-an) di kampus, sehingga kamipun memutuskan untuk bergantian sensus. Haripertama, Rohmadan Nabila yang melakukansensus, sedangkan aku mengajar di Taman Pendidikan Quran (TPQ) dengan beberapa teman lainnya yang piket. Hari kedua, piketku dan Nabila karena Rohma sedang mengurus KRS di kampus. Sensus kami lakukan minggu pagi sebelum kemageran menyerang para mahasiswa di siang hari.
Dari sensus pertama hingga pertengahan berjalan dengan baik, bahkan beberapa dari warga sempat memberi kami beberapa camilan, mulai dari jus, bubur, es cendol dan gorengan. Sekali sensus, bisa langsung kenyang nih, pikirku. Lalu, tiba di rumah terakhir sensus kami. Rumahnya berpagar agak luas. Tidak begitu besar. Aku dan Nabila berkali-kali salam tetapi pintu tak kunjung terbuka. Tak ada tanda-tanda penghuni di dalam. Lalu salah satu tetangganya menghampiri kami, menyuruh Nabila untuk menekan bel yang ada di sebelah kiri pagar. Sesekali tetanganya juga membantu memanggil pemilik rumah. Saat pintu dibuka barulah aku mengerti kenapa pemilik rumah berpagar hijau itu tidak segera membukakan pintu rumahnya. sepertinya non Muslim batinku. Aku merasakan firasat buruk yang akan terjadi. Benar saja, dari air mukanya saja bisa ditebak, bapakberkumis danberkulit kuninglangsatitu kesal atas kedatangan kami. Sesaat kami berdua saling bersenggolan, mengerti kesalahan masing-masing, aku tak berani menatap muka bapak paruh baya pemilik rumah.
Kami dipersilahkan duduk. Bapak itu ke dalam untuk membenarkan pakaiannya yang lebih sopan ketika menyambut tamu. Ku pandang sekeliling. Dekorasi rumahnya penuh dengan patung- patung kecil yang mereka sebut Bunda Maria. Ada juga satu patung yang lumayan besar dan bersayap. Aku agak merinding melihatnya. Tak lama, bapak itu kembali.
Bapak Cina : Ono tujuan opo? (Ada tujuan apa (bertamu)?)
: Maaf Pak sebelumnya, kami mahasiswa yang sedang KKM di desa ini ingin melakukan sensus penduduk.
Bapak Cina : Sopo seng ngongkon? (Siapa yang menyuruh?) Nabila dan aku hanya saling berpandangan
Bapak Cina : (menyelidik) Bu Umi to?
Aku : (sambil menunduk takut) Nggih.
Bapak Cina : Owalah!! (sambil menunjuk ke arah aku dan Nabila) Samean tahu nggak sekarang hari apa? Minggu, kan?!! Udah tahu hari minggu itu waktu ibadahnya umat kristiani kok masih diganggu. Saya tersinggung, Mbak. Samean mahasiswa sebenarnya yo wes ngerti to kalo hari minggu iku dilarang bertamu di rumah orang non muslim khususnya umat kristiani. Itu namanya mengganggu peribadatan agama lain lho, coba kalo saya bertamu di rumah kalian pas hari jumat gimana?
Seketika suasana menjadi canggung, aku dan Nabila tak bisa berkata apapun dan hanya diam mendengarkan. Ternyata hanya aku yang tidak tahu kalau pemilik rumah terakhir itu keluarga Nasrani. Nabila mencoba untuk mencairkan suasana dengan kembali ke pertanyaan seputar sensus. Namun aku hanya bisa mematung dan memainkan pena yang aku pegang. Ah, Nabila. seharusnya kamu memberitahuku lebih awal.
Beberapa pertanyaan sensus sudah terjawab. Ingin rasanya cepat keluar dari rumah ini. sungguh tak nyaman apalagi dengan tatapan Bapak Cina yang menakutkan. Kami berpamitan untuk undur diri. Lega rasanya. Tetapi Bapak Cina tak mempersilahkan kami keluar malah kembali menceramahi kami dengan panjang lebar. Aku dan Nabila hanya manggut-manggut mengakui kesalahan kami dan tidak akan mengulanginya lagi. Betapa malunya aku saat itu. Tak terasa azan berkumandang. Bapak Cina juga mulai lelah menceramahi kami yang tak tau sampai mana ujungnya. Akhirnya kami dipersilahkan undur diri dengan permintaannya mencium tangan Bapak Cina sebagai orang yang lebih tua. Di akhir kata, beliau berpesan untuk saling toleransi beragama. Senyum puas terkulum di bibirnya. Kami juga disuruh mengucapkan salam seperti biasa dan langsung dijawab oleh Bapak Cina „waalaikum salam‟ dengan mengantar kepergian kami di depan pintu. Kami melenggang menuju basecamp dengan membawa banyak makanan perut dan makanan batin. Sepanjang perjalanan, giliran aku yang menceramahi Nabila yang tak memberitahuku lebih awal keluarga rumah berpagar hijau tersebut. Huft.. pengalaman yang begitu menegangkan.