Memburu Kemenangan pada Momentum Bulan Puasa dan Hari Raya

Puasa itu sendiri dijalankan adalah agar orang-orang yang menjalankannya menjadi bertaqwa. Tidak semua orang diwajibkan menjalani, tetapi hanyalah bagi orang-orang yang beriman. Puasa adalah ibadah yang hanya bisa dikontol oleh dirinya sendiri.  Hanya Tuhan dan  yang  menjalani sendiri  yang tahu bahwasanya  seseorang benar-benar berpuasa. Orang lain tidak akan mampu mengontrol, bahkan terhadap isteri, suami, teman dekat, dan  anak-anaknya sendiri.

Jelas sekali bahwa puasa adalah untuk memperbaiki diri, agar yang bersangkutan menjadi bertaqwa. Banyak disebutkan tentang ciri-ciri seseorang  hingga disebut telah memiliki ciri-ciri itu. Orang bertaqwa selalu berusaha dekat pada Tuhan, beriman, beramal saleh, selalu menjalin tali sillaturrakhiem, dan berakhlak mulia.

Dengan demikian orang bertaqwa tidak akan merasa hebat sendiri, menang dan berhasil mengalahkan orang lain, apalagi membuat perpecahan. Sebab al Qur’an sendiri mengajarkan seperti itu. Kitab suci ini  menganjurkan agar selalu menjaga persatuan dan kesatuan, menghargai dan  saling tolong menolong,  serta  saling memperkukuh.

Islam mengajarkan konsep berjama’ah. Kegiatan apa saja yang dijalankan secara berjama’ah maka  manfaatnya lebih besar. Bahkan shalat wajib lima waktu saja, jika dijalankan secara berjama’ah di masjid atau di mana saja akan mendapatkan pahala yang berlebih dan atau berlipat-lipat. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad  mengutamakan kebersamaan, persatuan,  saling kasih mengasihi dan  tolong menolong di antara sesama.

Namun pada kenyataannya terasa aneh, tatkala akan menjalankan kegiatan ritual yang ujung-ujungnya dimaksudkan agar bertaqwa,  justru selalu saja diawali dengan perdebatan dan bahkan tidak mampu bersatu.  Akibat  yang tampak dari keadaan  itu,  menjadikan  Islam seolah-olah tidak menganjurkan persatuan. Padahal, Islam sebenarnya mengajarkan kebersamaan, saling kasih mengasihi, tolong menolong,  dan saling memperkukuh  antara satu dengan lainnya.

Sebaliknya,  bercerai berai, saling olok-mengolok, salah-menyalahkan hingga berakibat   memutus tali silaturrahmi harus dijauhi. Dalam kehidupan apa saja, Islam menganjurkan agar memelihara persatuan dan kesatuan. Dalam bidang ekonomi, maka pihak  yang kaya harus memberi kepada yang miskin, dalam bidang ilmu pengetahuan maka yang pintar agar mengajari yang bodoh, dalam bidang sosial maka mereka yang menderita,  misalnya yang miskin dan yang yatim,  harus dibantu, dan juga bagi  mereka yang sedang berkuasa harus berlaku adil, dan seterusnya.

Ajaran tentang persatuan dan kesatuan itu ternyata seringkali  terganggu hanya oleh penentuan waktu kegiatan ritual. Padahal  sebenarnya kegiatan ritual itu sendiri dimaksudkan  justru agar umat bersatu. Orang berpuasa di bulan Ramadhan adalah agar bersatu. Akan tetapi  aneh menjelang datangnya  bulan itu,  justru muncul hal yang menjadikan umat tidak bersatu, baik terkait dengan waktu pelaksanaannya maupun bentuk ritual di bulan itu. Lebih aneh  lagi, perpecahan itu dipandang  sebagai rakhmat. Padahal  kenyataannya, rakhmat dari adanya perpecahan itu tidak pernah kelihatan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Umpama para tokoh Islam menyadari terhadap betapa pentingnya persatuan umat, maka mereka akan mencari titik temu, agar perpecahan dan resiko perbedaan itu,  dari tahun ke tahun bisa dikurangi.  Umat di tingkat bawah sebenarnya tidak menyukai  dengan perpecahan. Mereka juga tahu, bahwa perpecahan itu akan berhenti manakala para tokohnya bersatu. Umat selalu mengikuti para pimpinannya. Oleh karena itu, agar persatuan terwujud, maka harus menunggu datangnya pemimpin yang memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya persatuan itu.     

Menjelang datangnya bulan Ramadhan ke depan ini, juga sebagaimana biasa, telah terdengar suara ketidak-adanya kebersamaan.   Sementara tokoh telah  menentukan jatuhnya awal bulan puasa dan  mungkin juga hari raya secara berbeda. Tokoh dimaksud mungkin menikmati perbedaan itu, karena merasa menang dan lebih benar dari yang lain. Sementara itu, umat di tataran bawah menghendaki bersatu, tetapi apa boleh buat, pemimpin mereka  menghendaki adanya perbedaan.

Perbedaan dalam pelaksanaan kegiatan ritual sebenarnya bukan hal baru. Di zaman Rasulullah, perbedaan itu sudah muncul.  Akan tetapi, kalau terjadi perbedaan, maka segera  menanyakan atau mengadu kepada Nabi. Ternyata dalam berbagai kasus, Nabi lebih memilih jawaban yang sekiranya bisa menyatukan  kembali di antara mereka yang berbeda itu. Persatuan tetap dipelihara dan diutamakan.

Juga sekarang ini, tatkala terjadi  perbedaan, maka  seharusnya  pihak-pihak yang terlibat meniru  Nabi.  Ialah sama-sama berusaha mempersatukan dan bukan  sekedar bernafsu untuk memburu kemenangan. Umpama para tokoh Islam berorientasi seperti  Nabi itu, maka  mereka akan benar-benar bisa  disebut sebagai warastatul ambiya’. Namun rupanya,  orang-orang yang pantas disebut sebagai pewaris nabi itu sudah sulit dicari, sehingga umat dibiarkan bercerai berai. Wallahu a’lam.  

 

Related posts

Ustaz, Saya Tuwuk Belajar Bahasa Arab

by adminfitk
4 years ago

Be Global Citizen, Kenalkan Sistem Terbaru Manajemen Zakat Produktif Di Kancah Internasional

by adminfitk
8 years ago

Ulul Albab Menjadi Ruh Pemberdayaan Masyarakat

by adminfitk
9 years ago
Exit mobile version