Keluar dari zona nyaman adalah kata mutiara yang sudah tidak lagi asing didengar telinga. Hal ini yang ter aplikasikan dalam sejarah pendidikan saya. Saya yang berasal dari kota suwar-suwir yaitu kota Jember, melanjutkan pendidikan perkuliahan di kota Malang. Sebelumnya, kota ini tergolong kota yang asing bagi saya ketika
Menempuh Pendidikan di Kota Apel
Oleh Gesbi Rizqan Rahman Arief (Mahasiswa PBA Angkatan 2016)
Keluar dari zona nyaman adalah kata mutiara yang sudah tidak lagi asing didengar telinga. Hal ini yang ter aplikasikan dalam sejarah pendidikan saya. Saya yang berasal dari kota suwar-suwir yaitu kota Jember, melanjutkan pendidikan perkuliahan di kota Malang. Sebelumnya, kota ini tergolong kota yang asing bagi saya ketika masih bersekolah di kota saya sendiri. Bahkan mungkin tak pernah terbesit dalam benak pikiran untuk melanjutkan jenjang pendidikan di kota yang terkenal dengan apelnya.
Dari beberapa universitas yang berada di kota Malang, Universitas Islam Negeri Malang (UIN) menjadi pilihan saya. Selain karena ajakan dari teman yang sudah terlebih dahulu berkuliah di sana, jurusan pendidikan bahasa arab hanya ada di universitas Islam negeri malang. Pada universitas lain jurusan yang tersedia untuk pencinta bahasa arab yaitu sastraarab.
Sebelum melanjutkan jenjang pendidikan di UIN malang, tak ada motivasi lain ataupun tujuan lain dalam diri saya. Saya hanya berpikir, “saya belum ingin kembali ke kota asal saya. Selagi memiliki kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di kota lain” Tentu tak dapat dipungkiri, suatu saat seseorang akan kembali pada tempat asalnya. Sebab tempat ternyaman yaitu tempat asal. Tanggung jawab tak sekompleks seperti halnya tempat perantauan, utamanya tak perlu lagi beradaptasi dalam segala aspek kehidupan.
Beradaptasi merupakan tantangan inti dalam menempuh pendidikan di kota orang. Tanpa adanya adaptasi yang baik, dampak yang ditimbulkan tentu tidaklah ringan. Bisa jadi akan terasingkan dalam lingkungan sekitar dengan berbagai macam pola pengasingan. Karena budaya tempat kita berasal tak menjamin ada kesamaan dengan budaya tempat perantauan walaupun notabenenya masih dalam lingkup Negara Indonesia.
Universitas Islam Negeri Malang memiliki sebuah pondok yang bernama Ma‟had Sunan Ampel Al-Ali. Seluruh mahasiswa baru diwajibkan untuk tinggal di Ma‟had sunan ampel al-Ali dalam kurun waktu minimal 1 tahun, dengan berbagai macam kegiatan dan aktivitas yang bertujuan untuk membekali seluruh mahasiswa baru. Jika ingin lebih lama untuk tinggal di Ma‟had sunan ampel al-Ali, wajib mengikutitesseleksi pendaftaran menjadi musrif-musrifah.
Selain dibekalinya seluruh mahasiswa baru dengan pengetahuan agama dan umum di Ma‟had Sunan Ampel Al-Ali, secara tersirat juga mengajarkan bagi seluruh mahasiswa baru untuk belajar bersosial satu sama lain selaku sesama anak perantauan, sebelum bersentuhan langsung nantinya dengan masyarakat malang. Tidak adanya kamar khusus bagi seluruh mahasiswa dari berbagi golongan sekalipun, menuntut untuk bersosial tanpa membeda- bedakan golongan, ras, keturunan , dan berbagai macam lainnya.
Semua itu sangat membantu saya untuk mulai beradaptasi dengan sesama perantauan dari berbagai macam wilayah. Dengan perantara dikumpulkannya seluruh mahasiswa baru, saya memiliki peluang yang besar untuk mengenali satu sama lain, budaya mereka, karakter mereka dan berbagai macam lainnya. Selain itu hal yang cukup menarik bagi saya, saya mulai mengenali berbagai macam gaya bahasa yang terpampang jelas di setiap model pembicaraan orang yang mungkin tak akan sayajumpai di tempat asal sayaseperti sunda, Jawa, Madura, Kalimantan, Papua dan lain-lain.