FITK NEWS – Pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi perhatian serius bagi Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Melalui kuliah tamu yang berlangsung di Aula Gedung Soekarno, (9/11), jurusan tersebut mengajak para mahasiswanya mengkaji lebih dalam tentang pendidikan bagi ABK. Sebab ABK juga berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Di kuliah tamu yang bertema “Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus pada Peserta Didik MI/SD” itu, pihak jurusan mengundang dua pemateri andal. Yaitu Dr. Asep Supena, M.Psi (Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa, FIP-Universitas Negeri Jakarta) dan Niken Kusuma Hapsari (Mahasiswa Program Magister, Jurusan Early Childhood, Monash University, Australia).
Dalam paparannya Dr. Asep menyampaikan tiga term penting. Yaitu anak luar biasa (exceptional children), anak disabilitas (children with disability) dan anak berkebutuhan khusus (children with special educational needs). Menurutnya anak luar biasa adalah mereka yang mengalami penyimpangan secara signifikan dari keadaan rata-rata, baik pada aspek fisik, motorik, kognitif, emosi sehingga memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Sementara disabilitas adalah mereka yang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi tertentu disebabkan gangguan pada aspek perkembangan tertentu (fisik, sensori, kognitif atau sosio-emosional). ”Kalau ABK yakni anak yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang berbeda karena berbagai sebab, baik faktor internal (kondisi perkembangan) atau faktor eksternal (lingkungan)”, paparnya.
ABK, sambung Dr. Asep, ada 11 ragamnya. Di antaranya tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, communication disorder, tuna daksa, tuna laras, kesulitan belajar, autis, hiperaktif, severely and multiply handicapped dan gifted and talented. Dikatakan, pendidikan untuk ABK terdapat dua alternatif. Pertama, segragatif meliputi Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Lembaga nonsekolah. Kedua, integratif lewat pendidikan inklusif.
Berbeda dengan Dr. Asep, Niken Kusuma Hapsari yang juga pemateri dalam pemateri kuliah tamu lebih memaparkan tentang motivasi agar mahasiswa PGMI terus semangat menggapai cita-citanya. Alumni PGMI itu menceritakan pengalamannya sehingga dapat mengenyam pendidikan di Monash University. ”Sejak masih S1 saya bercita-cita dapat kuliah di luar negeri. Beberapa kali gagal saat mencoba beasiswa tak membuatku resah, justru menjadi penyemangat. Alhamdulillah akhirnya saya berhasil mendapat beasiswa LPDP”, ujar wanita berperawakan kalem ini.
Di kampus yang diidamkannya tersebut, Niken juga tak hanya belajar namun juga punya aktivitas lainnya seperti gabung di komunitas alat kesenian angklung, menari di berbagai event sampai mengunjungi sekolah-sekolah inklusif. ”Alhmdulilah ilmu yang saya pelajari di PGMI sangat bermanfaat dan menunjang studi saya di Australia,” tuturnya.
Dia menegaskan jika mahasiswa PGMI harus tekun belajar agar dapat kuliah dimanapun yang diinginkan. Dia menyontohkan bahwa dirinya banyak mengaplikasikan materi kuliah PGMI saat kuliah di Melborne. ”Pelajari Budaya Indonesia. Sebab kita akan menjadi guru yang akan mengajarkan kebudayaan negeri yang kaya budaya ini. Jangan lupa, pelajari juga bahasa asing karena we will always need that wherever we are” ungkapnya.