PKL inilah singkatan dari Praktik Kerja Lapangan, sebuah mata kuliah yang diwajibkan oleh Universitas untuk mahasiswa yang menginjak semester akhir, yang konon katanya untuk dapat mempertajam serta mengamalkan setiap teori pembelajaran yang didapati dibangku kuliah dari semester awal.
PKL: UNIVERSITAS KEHIDUPAN YANG SEJATI
Oleh Nurul Fadhilah Fakaubun (Mahasiswa PBA Angkatan 2016)
PKL inilah singkatan dari Praktik Kerja Lapangan, sebuah mata kuliah yang diwajibkan oleh Universitas untuk mahasiswa yang menginjak semester akhir, yang konon katanya untuk dapat mempertajam serta mengamalkan setiap teori pembelajaran yang didapati dibangku kuliah dari semester awal.
Terlebih dari mempertajam dan mengamalkan teori, saya sebagai subjek yang mengikuti kegiatan PKL dapat mengatakan bahwa PKL adalah sebuah ajang dimana mata mahasiswa terbuka dan melek akan banyaknya ilmu yang baru dia pahami padahal telah ia pelajari sejak lama. Sehingga tak jarang, ketika PKL sering mendengar kata yang berucap “ooo… jadi begitu” dibumbui dengan ekspresi bahagia seperti menemukan sebuah harta karun yang lama terpendam.
Begitu pula dengan saya, seorang mahasiswa semester akhir, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Yang telah menjalani PKL selama 2 bulan dengan penuh cerita serta perjuangan untuk menghadapi setiap tantangan baru yang muncul di sekolah maupun dirumah.
PKLsayadi laksanakandi desaSukopuro Jabung, di sekolah MTs Islamiyah Sukopuro. Awal pertama kali kami menginjakkan kaki di sekolah tersebut, sudah kami rasakan hawa-hawa perjuangan untuk menjadiguru, sebagaicalon guruyangmengajarkan Bahasa Arab
di MTs Islamiyah Sukopuro, ini merupakan tantangan tersendiri, disebabkan rasa kecintaan dan motivasi belajar anak dalam belajar bahasa arab sangat minim.
Hari pertama pun dimulai, saya dan teman-teman kelompok PKL mulai beraksi di sekolah, berbeda dengan teman-teman yang lain, saya dan Wilda salah satu teman saya sudah diberi tugas untuk melaksanakan piket harian guru. Awalnya memang membingungkan, ditambah lagi kami berdua diminta untuk menggantikan guru yang tidak hadir dikelas, alhasil saya pun harus terpisah dengan Wilda, karena dia harus menggantikan guru dikelas VII sedangkan saya harus menggantikan guru di kelas IX.
Awal saya memasuki kelas IX, saya merasa tidak akan ada masalah dengan anak-anak dikelas tersebut. Namun, selang beberapa menit kemudian saya terperangah dan tak habis pikir, beginilah kondisi siswa dikelas tersebut, layaknya pasar ikan yang sedang aktif berjualan, seketika saya bergumam didalam hati “Inilah perang sebenarnya” saya pun berusaha untuk mengajak mereka belajar dan mengerjakan tugas, bersyukur mereka mengikuti arahan dari saya meskipun harus dengan usaha dan tenaga yang besar, seketika saya keluar dari kelas tersebut maka terasalah gejolak perut yang merasa kelaparan setelah banyak tenaga yang perlu dikeluarkan.
Dari pengalaman pertama saya masuk di kelas IX, ternyata membuat framming di dalam diri saya secara tidak langsung „jika kakak kelasnya saja begini bagaimana kelas VIII yang nanti sayaajar‟ kekhawatiran saya semakin menjadi-jadi, sebab saya ditugaskan untuk mengajar kelas VIII A.
Tibalah di hari kamis, dimana hari saya mengajar Bahasa Arab di kelas yang telah ditentukan, jangankan memberanikan diri untuk berdiri didepan pintu kelas tersebut, hanya dengan melihat kelasnya saja sudah membuat saya merinding dengan asumsi “bisakah saya mengajarkan anak-anak tersebut tanpa ada suatu kesalahan? “ . Setelah memasuki kelas dan mengawali pelajaran sedikit membuat saya terkejut, karena karakteristik kelas ini sangat berbeda dengan khayalan saya sebelumnya. Mereka sangat patuh dan antusias dalam belajar Bahasa Arab.
Hari terus berjalan, akhirnya saya mulai terbiasa dalam mengajarkan anak-anak kelas VIII, namun entah apa yang terjadi, ilmu yang saya transfer kepada anak-anak keas VIII A serasa tak ada arti bahkan terasa sia-sia. Saya sebagai pengajar pun juga tak merasa ada pengaruh yang menonjol dengan kedatangan saya didalam kelas tersebut. Tak disangka kegalauan ini ternyata membawa saya dalam kesedihan yang mendalam, sebab saya merasa, saya seperti tak layak menjadi seorang guru Bahasa Arab yang dapat di gugu dan ditiru.
Beberapa kali perasaan ini melanda, akhirnya saya pun tak tahan untuk memendamnya, hingga saya pun mengajak seorang guru untuk bercerita, hingga saya akhirnya dapat memetik sebuah pelajaran darinya bahwasanya “kita bukan memberi ilmu kepada mesin atau benda mati, namun kita berbagi Ilmu dengan manusia, yang
jugamemilikihati,yanghati-hati merekadigenggamolehSang Pemilik Hati manusia, sehingga ketika mengajar pun bukan hanya sekedartransfer Ilmu, melainkan kitaberniat untukmembina mereka untuk layak menjadi Seorang hamba Allah yang bertakwa”. Hal ini yang membuat saya pun meneteskan air mata, sebab saya merasa sangat egois karena saya mengajarkan Bahasa Arab kepada mereka hanya untuk mentransfer ilmu, serta hanya untuk menempuh tugas PKL.
Ternyata setelah saya mencoba menyampaikan setiap materi dan nasihat dengan setulus hati, tak disangka mereka pun menerima dengan hati lapang dan terbuka yang berpengaruh pada tingkah laku mereka.
Inilah slah satu pengalaman dan pesan yang menggugah diri saya sebagai calon guru, bahwa mengajar anak bukan perkara mereka akan bisa atau tidak, melainkan apakah mereka mau untuk meimplementasikan setiap ilmu yang mereka punya, bukan hanya karena mencari eksistensi diri melainkan karena mereka memahami bahwa itu semua adalah jalan bertemu dengan-Nya.
“Ketika kita menyampaikan suatu ilmu hanya dengan mulut saja, maka akan diterima oleh telinga saja, namun ketika kita ikut sertakan hati dalam membagi ilmu, maka hati pun akan menerima ilmu tersebut”.
Wallahu „alam bi Ash-Showab