Bahasa Arab bukanlah bahasa nasional untuk bangsa Indonesia. Di sisi lain, Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini membuat bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari bahasa Arab. Bahkan saat ini bahasa Arab telah dipelajari di instansi formal seperti Madrasah
Saat Mereka Bilang “Ini Adalah Kelemahan Saya”
Oleh Mohammad Sofi Anwar (Mahasiswa PBA Angkatan 2016)
Bahasa Arab bukanlah bahasa nasional untuk bangsa Indonesia. Di sisi lain, Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini membuat bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari bahasa Arab. Bahkan saat ini bahasa Arab telah dipelajari di instansi formal seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) hingga perguruan tinggi Islam. Selain itu bahasa Arab juga dikaji di instansi nonformal seperti Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, dan lembaga kursus bahasa Arab yang berkembang di berbagai wilayahIndonesia.
Meski perkembangan bahasa Arab kian pesat, ternyata tidak semua penduduk Indonesia yang menggeluti bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi mata pelajaran wajib di instansi pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama seperti MI, MTs, MA, dan lain sebagainya. Padahal tidak semua siswa yang menempuh pendidikan di MI, MTs, maupun MA memiliki keinginan untuk mempelajari bahasa Arab. Akibatnya mereka merasa gelagapan, terlebih bagi merekayang belum pernahbelajar bahasa Arab sebelumnya.
Seperti siswa-siswa di MTs Al Hayatul Islamiyah Kedungkandang Kota Malang. Para siswa di madrasah ini memiliki berbagai pendapat tentang bahasa Arab. Hal ini dapat diketahui penulis saat penulis melaksanakn kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di madrasah ini. Kelas 8c, adalah kelas yang diajar penulis saat itu. Di kelas ini seluruhnya adalah laki-laki. Di kelas ini pula penulis bertanya-tanya tentang pendapat mereka tentang bahasa Arab.
Rizki Ramadhani, adalah salah satu siswa di kelas ini merasa kesulitan mengerjakan soal Ujian Tengah Semester (UTS) waktu itu. Rizki sering mengatakan bahwa ini (bahasa Arab) adalah pelajaran kelemahan saya. Serentak penulis merasa kasihan pada Rizki. Layaknya putri salju yang harus dijauhkan dari sinar matahari karena kelemahannya, apakah rizki harus dijauhkan dari bahasa Arab, karena membuatnya lemah?
Hal yang sejenis juga terjadi pada Khoirul Murtadho, teman sekelas Rizki. Saat UTS penulis sering mendapatinya menyontek teman atau meletakan buku di bawah bangku. Saat penulis memintanya untuk mengerjakan sebisanya, dia tersenyum sesekali bilang “tidak bisa ustaz”.
Begitupun dengan Nur Yasin. Anak ini paling sulit kalau diajak belajar, terlebih jika ada tugas menulis. Dia sering tidak membawa buku pelajaran, dan ketika ditanya tentang pelajaran jawabannyapun hanya “tidak tau”. Di dalam kelaspun tidak menunjukkan bahwa dia memiliki kemauan untuk belajar. Apalagi dalam pelajaran bahasa Arab, di mana di dalamnya ada sekian banyak kaidah yang mengaturnya. Meski sudah disederhanakan sedemikian rupa, tapi sebagian isi bukunya menggunakan tulisan Arab. Hal ini membuat anak seperti Nur Yasin ini enggan untuk melihatnya.
Bukan hanya Rizki, Khoirul, ataupun Nur Yasin. Sebagian besar dari kelas ini memang kurang menggemari bahasa Arab. Hal semacam ini dapat diketahui ketika pembelajaran bahasa Arab berlangsung, perhatian siswa tidak sepenuhnya ke pelajaran. Penulis harus sering mengembalikan fokus mereka ke pelajaran. Karena jika fokus mereka tidak dikontrol, banyak siswa yang ngobrol dengan temannyaataubahkankeluar kelas dengan alasan kekamarmandi.
Dari total keseluruhan siswa kelas 8C, hanya segelintir siswa yang dikatakan mampu memahami bahasa Arab. meskipun mereka tidak meminatinya. Itupun dengan pemahaman yang begitu sederhana. Seorang guru memang perlu mendampingi mereka belajar. Terlebih bagi mereka yang menganggap bahasa Arab sebagai sumber kelemahan. Tentu sumber kelemahan itu harus dimanfaatkan atau bahkan dijadikan sesuatu yang bisa membangkitkan semangat belajar.