ICP FITK – Langkah mengepakkan sayap UIN Maliki Malang menuju world class university terus berjalan semakin dekat, terbukti salah satu upaya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) menggandeng seorang sarjana muslim sekaligus pakar dari LA Trobe University Melbourne Australia, Dr. Sven Alexender Schottmann. Terlahir sebagai orang Jerman, Sven Alexender melanglang buana dari satu negara ke negara lain, untuk mencari ilmu, tercatat beberapa negara tempat dia menggali ilmu dari Singapore, Malaysia, Canada, Inggris, Australi , Yaman, Mesir dan beberapa Negara Timur Tengah. Ia mengusai  Bahasa Prancis, Inggris, Jerman, Bahasa Melayu dan Bahasa Arab.

Untuk membangun kolaborasi dan kerjasama itu, FITK UIN Maliki Malang menggelar Seminar Internasional dengan tema“ISLAM AND EDUCATION;  DEVELOPMENT AND CHALLENGES”, yang dipresentasikan langsung oleh Sven Alexender Schottmann, dan sebagai narasumber pembandingnya, Wakil Rektor Bidang Akademik, Dr. H.M. Zainuddin, MA. Seminar Internasional yang dimoderatori Direktur ICP (International Class Program), H. M. Yahya, M.A, Ph.D, itu dihadiri para dosen dan ratusan mahasiswa FITK bertempat di Aula Gedung Micro Teaching (12/11/2013).

Dalam sambutan pembukaan acara, dekan FITK, Dr. H. Nur Ali, M.Pd, menuturkan tentang pentingnya pendidikan berkulitas. Seiring dengan kemajuan global, pendidikan berkulitas sangat dibutuhkan untuk membentuk generasi masa depan yang unggul. Melalui pendidikan yang berkulitas itulah, maka akan lahir generasi dan sumber daya manusia produktif. Dengan mengutip hadits “Kaada al-fakru an yakuna kufran”, kini generasi harus cerdik pandai, berilmu pengetahuan dan memiliki integritas moral (etik) yang agung, supaya tidak menjadi generasi yang miskin dan menyebabkan kekafiran itu,” ujar pria asal Lamongan itu.

Dalam memasuki dunia global dewasa ini kita mesti belajar dan berguru kepada siapa saja, orang-orang telah maju, pakar dan ahli (expert), termasuk belajar ke semua negara yang sudah maju dan modern, guna menjadi bekal esok hari yang menjanjikan. “Kalau kita renungkan sebuah hadis/atsar (kata mutiara atau ungkapan para sahabat) ternyata begitu kaya inspirasi, seperti “uthlubu al-ilma walau bi al-shin”, “undzur ma qaala wala tandur man qaala”, “allimu aulaadakum li jamanin ghaira li jamanikum” dan masih banyak lagi, semua itu harus kita maknai sebagai proses belajar tanpa memandang kepada siapa, kapan dan dimana tempatnya,” pasalnya.

Mengawali orasinya, Sven Alexender, menuturkan selama ini pengetahuan yang didapat oleh pelajar muslim seringkali tertumpu pada metode menghafal, sedangkan pengetahuan yang sifatnya analisis dan critical thinking kurang mendapat perhatian yang memadai. Sebagai dampaknya, mereka tidak mempunyai pemikiran yang imajinatif  sehingga tidak memberikan kontribusi dalam kehidupan yang nyata di masyarakat.

Lebih lanjut, Sven Alexender, memaparkan bahwa pengetahuan adalah power, “knowledge is power literally”,  dengan pengetahuan akan mengubah dunia. Universitas adalah tempat dimana mahasiswa mendapat pencerahan dan pertukaran ide-ide yang imajinatif dalam pengetahuan (market of ideas). Karena itu universitas bukanlah tempat untuk mencari sertifikat (ijazah) semata, mahasiswa harus terbuka pemikiranya, salah satunya adalah mengusai bahasa dunia Bahasa Inggris, misalnya. “Dengan bahasa kita dapat berkomunikasi dengan dunia luar, dan berinteraksi secara produktif. Meskipun saya orang Jerman, saya bisa menulis karya akademik dengan bahasa Inggris,” ungkapnya.

Sebagai pakar yang menggeluti ilmu-ilmu sosial dan humaniora, Sven Alexender menuturkan pula tentang pentingnya peranan ilmu sosial dalam kontribusinya dalam pembangunan. Dalam konteks ini ia memberikan contoh, bagaimana di negara-negara mayoritas penduduknya muslim, seringkali pembangunan tidak melibatkan ilmu sosial, program pengentasan kemiskinan misalnya sering kali tidak berhasil, hal ini karena tidak melibatkan pengetahuan termasuk pendekatan ilmu sosial (social sciences approaches). “Saya melihat orang Islam di Mesir, tetapi saya lihat islam di Perancis”Orang Islam tidak boleh mendikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama,” pasalnya.

Sven Alexender menambahkan, mestinya pendidikan tidak hanya tertumpu pada belajar pada buku, tetapi harus belajar dari kehidupan nyata. Seorang muslim semestinya bukan belajar membaca buku (kitab suci), melainkan sudah saatnya mempraktekkan kitab suci. Dalam soal kultur dan nilai-nilai akademik dan keagamaan, ia membandingkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, Malaysia misalnya. “Kultur dan nilai-nilai yang dikembangkan Malaysia cendurung top down, pemerintah sangat kuat mengintervensi budaya pendidikan dan kultur keagamaan masyarakat, sedangkan Indonesia jauh lebih baik dari Malaysia, yang cenderung botom up, dengan membuka jendela demokrastisasi dan kultur kepada masyarakatnya untuk mengembakan kreativitas dan kebebasan,” Pungkasnya.

Sementara saat giliran narasumber kedua, Dr. M. Zainuddin, MA., menjelaskan bahwa perkembangan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di tanah air sesungguhnya agak terlambat, dibanding dengan ilmu-ilmu keagamaan (religious sciences). “Ilmu-ilmu sosial baru berkembang dan mendapatkan respon serta perhatian dari kalangan intelektual muslim Indonesia pada era abad 20-an, misalnya cendekiawan muslim Indonesia, Kuntowijoyo (alm) dan beberapa intelektual muslim lainnya, sedangkan secara kualitas maupun kuantitas para ulama (ahli agama) dan kitab-kitab kuning itu telah menjadi rujukan utama dan kiblat dibeberapa lembaga pendidikan Islam,” pasalnya.

Masih menurut Wakil Rektor I, pada era globalisasi sekarang ini mengharuskan setiap institusi (lembaga), termasuk pendidikan Islam, wajib memiliki daya saing untuk berkontribusi dan mengabdi bagi kemajuan dan kemakmuran kehidupan masyarakat, bangsa dan dunia. Pendidikan Islam sejatinya memiliki keunggulan lebik baik, ketimbang pendidikan umum lainnya, sebab pendidikan Islam berupaya mengintegrasikan antara dimensi pengetahuan, otak (head/aql), dimensi hati (heart/qalb) dan jiwa (soul/naf), dengan panduan utama kitab suci (al-Qur’an dan hadits). “Melalui pendidikan Islam, kita harus menggenggam pengetahuan dan teknologi, menguasai bahasa dan budaya untuk kemajuan dunia. Peran strategis pendidikan Islam hadir dan dihadirkan untuk menjembatani antara idealita dan realita, antara membaca dan praktek secara bersamaan, serta sebagai agen kemajuan era global, ‘’reform in global era,” ujar pria asal Bojonegoro. [hid]

======================================================

Dr. Sven Alexander Schottmann

BA (DePaul), MSc (London), PhD (Monash)

Research Fellow, Center for Dialogue

Faculty of Humanities and Social Sciences

Center for Dialogue, Melbourne (Bundoora)

Sven Schottmann’s main research interests are Muslim social movements in Southeast Asia, as well as the range of intellectual and imaginative encounters between Muslims in different part of the world. He has established a significant publications track record covering a wide range of areas including Southeast Asian politics, conflict resolution, high impact philanthropy, Islamic finance and banking, marketing interfaith dialogue.

Sven has been invited to deliver papers and give lectures at academic conferences and workshops in Australia, Malaysia, Singapore, Vietnam, Japan.

Sven is a member of Asian Studies Association of Australia, Malaysia and Singapore Society of Australia, German-Arabian Society, German-Malaysian Society, Asian Studies Association.Penulis: Mujtahid