FITK NEWS –  Kehadiran kedua budayawan kondang di UIN Maliki Malang ini memukau ratusan mahasiswa tidak hanya dari UIN Maliki Malang, namun mahasiswa dari kampus-kampus lain juga turut memadati Aula Rektorat lantai 5, Rabu, (22/10) lalu. Kali ini, Sujiwo dan Agus datang bukan untuk duel orkestrasi. Mereka diundang secara khusus oleh FITK UIN Maliki Malang untuk mengajak mahasiswa berdialog ilmiah melalui simposium pendidikan bertajuk Meneropong Budaya Pendidikan Indonesia.

Menurut Dr H Nur Ali MPd, Dekan FITK UIN Maliki Malang, tujuan dialog ilmiah ini yaitu untuk melahirkan generasi muda yang menjunjung tinggi martabat budaya lokal. Pendidikan dan budaya adalah dua komponen yang saling melekat dan berpotensi bagi kemajuan generasi muda. “Sehingga kelak bukan sekedar menjadi generasi wacana,” ungkapnya

Dalam simposium yang dimulai 08.00 hingga 13.00 WIB tersebut, calon pendidik memperoleh wejangan bernilai tinggi. Seorang pendidik seyogyanya mengajarkan kebenaran melalui akal, imajinasi dan intuisi. Dengan begitu, generasi Indonesia mampu menciptakan sebuah produk. Bukan hanya bisa mengutip ide atau mereproduksi perilaku Barat yang kurang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal.

“Nenek moyang kita dulu, diawal abad Masehi, sudah bisa melahirkan kalender berdasarkan garis edar matahari, bulan serta pergantian musim. Seperti Surya Sengkala, Candra Sengkala dan Pranata Mangsa. Itu semua karena pembelajaran di masa leluhur mengkombinasikan tiga aspek tersebut,” terang Agus Sunyoto, pengasuh pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang

Penulis Ensiklopedia Wali Songo ini juga menguak rahasia bagaimana meraih kesuksesan jasmani dan rohani. Pakar Sastra Jendra ini berpesan agar mahasiswa selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. “Kunci kesuksesan seseorang tergantung dari seberapa besar ikatannya pada Sang Pencipta. Untuk mencapainya, tradisi pengembangan intuisi dan imajinasi di bidang pendidikan perlu dieksplorasi,” terangnya

Keterangan Agus Sunyoto ini, didukung sepenuhnya oleh Sujiwo Tedjo. Menurut dalang masyhur asal Jember, pendidik ideal harus mahir melatih tingkat kefokusan para peserta didik sejak dini. Fungsinya menumbuhkan karakter dan mengasah bakatnya dengan baik. Karena fokus dengan musik, pria yang telah mendalami Matematka di salah satu universitas yang terletak di Bandung ini, piawai menghubungan numerik dengan ritme, nada, dan bunyi. “Sehingga mengajarkan bahasa, bukan hanya bertumpu pada arti. Tapi pada ritme dan bunyi. Begitu pula saat belajar membaca al Quran,” paparnya

Selain itu, Sujiwo mengutarakan jika mahasiswa berbudaya yaitu mereka yang menghormati gurunya dengan penuh keikhlasan. Dia mencontohkan persaingan sengit antara Arjuna dan Bambang Ekalaya dalam pewayangan. Walau Arjuna lebih pandai daripada Ekalaya, ilmu Ekalaya lebih bermanfaat. “Alasannya, Bambang Ekalaya patuh kepada gurunya, Durna” tutur penulis novel best seller Lupa Endonesia, Jiwo Janc#k serta Republik Janc#kers tersebut

Diakhir simposium, seniman profesional ini masih menyuguhkan sebuah sketsa menarik tentang kegigihan seorang murid untuk mengemban amanah gurunya. Meski banyak orang menertawakan, Bima tetap mentaati Durna. Dia menceburkan diri ke laut Selatan agar menemukan sarang angin. “Karena Bima fokus dan tawadhu’ terhadap titah gurunya, Bima bisa bertemu Dewa Ruci, Tuhan dalam lakon pewayangan. Kemudian merasakan mutmainah dan lawwamah,” terangnyaPenulis: Dewi Nur Suci