Penduduk Tunisia hanya sekitar 11 jutaan, kurang dari 10 persen dibanding jumlah warga negara Indonesia.Tidak seperti negara Arab di Timur Tengah, Tunisia hanya mengandalkan sektor pariwisata dan perkebunan Zaitun.Namun, negara bekas jajahan Perancis ini, tergolong makmur.Salah satu indikasinya, selain tingkat penghasilan warga, adalah tingkat pendidikan.

PENDIDIKAN MURAH TUNISIA DAN REVOLUSI MENTAL

By Dr. H. R. Taufiqurrochman, MA*)

 

Penduduk Tunisia hanya sekitar 11 jutaan, kurang dari 10 persen dibanding jumlah warga negara Indonesia.Tidak seperti negara Arab di Timur Tengah, Tunisia hanya mengandalkan sektor pariwisata dan perkebunan Zaitun.Namun, negara bekas jajahan Perancis ini, tergolong makmur.Salah satu indikasinya, selain tingkat penghasilan warga, adalah tingkat pendidikan.

Di Tunisia, bea kuliah sangat murah meriah. Mahasiswa jenjang S1 hanya dikenai bea materai dan administrasi sebesar 35 Dinar (Rp 245 ribu) per tahun. Mahasiswa S2 dan S3 sebesar 108 Dinar (Rp 756 ribu).Ini berlaku untuk semua kalangan, baik mahasiswa asing maupun pribumi, pada semua universitas dan program studi. Tidak ada lagi biaya tambahan seperti uang gedung, laboratorium, perpustakaan apalagi buku LKS, hehehe… Semua pernak-pernik pendidikan yang berpotensi proyek, tidak ada di Tunisia.

Bagi mahasiswa asing yang kuliah di Tunisia, biaya itu sangat murah.Yang “relatif” agak mahal adalah biaya hidup (living cost).Apalagi, beasiswa pemerintah Tunisia untuk mahasiswa Indonesia telah berhenti, sejak beberapa tahun belakangan ini. Sekedar contoh, bea sewa flat 2 kamar di sekitar kampus, mencapai angka 200 USD. Itu rumah kosong, tanpa perkakas apapun. Mahasiswa dari negara lain umumnya masih memperoleh beasiswa bulanan dan jatah tinggal di asrama kampus. Mengapa mahasiswa Indonesia tidak?Karena rupanya, MoU antara pemerintah kita dengan pemerintah Tunisia, telah lama kadaluwarsa.Seharusnya, MoU beasiswa itu diperbaharui per 4-5 tahun.

Untung saja, telah lama terbentuk PPI Tunisia (Persatuan Pelajar Indonesia di Tunisia).Melalui wadah ini, mereka saling membantu dan biaya “patungan” untuk kontrak rumah dan masang bareng.Menurut penuturan beberapa mahasiswa asal Indonesia, minimal mereka butuh sekitar 150 sd. 200 USD (Rp 2 – 3 juta) biaya hidup sebulan untuk makan, bayar sewa rumah, beli buku, dan sebagainya termasuk untuk jalan-jalan.

Jika kreatif dan mau penghasilan tambahan, mahasiswa bisa kerja sambilan di KBRI sebagai petugas jaga, kebersihan atau masak. Bisa juga, kerja sebagai guide atau berjualan di saat hari libur. Mahasiswa Indonesia di Tunisia, mereka tinggal di rumah kontrak yang biayanya ditanggung secara patungan sehingga lebih ringan. Selain itu, mereka sudah terbiasa masak sendiri dengan menu seadanya ala pesantren yang itu sangat menghemat uang saku.

Hingga hari, sekolah atau kampus negeri di Tunisia sangat diminati oleh rakyatnya dan juga oleh warga negara asing.Selain murah meriah, kualitasnya juga lebih baik. Di sisi lain, para guru dan dosen, semuanya pegawai negeri dan tingkat ekonomi mereka cukup mapan. Profesi sebagai guru, dosen atau ilmuan, sangat dihormati oleh rakyat Tunisia.Pemerintah selalu memberi apresiasi tinggi kepada tenaga pendidik yang berprestasi dan produktif.

Jadi, bisa dikatakan, uang pendidikan sebesar 35 Dinar dan 108 Dinar yang diwajibkan pemerintah Tunisia itu hanya “sekedar” untuk biaya administrasi agar siswa atau mahasiswa dapat nomor presensi sekolah atau kuliah. Pemerintah Tunisia saat ini mengalokasikan 26 persen APBN-nya untuk pendidikan.Bahkan, di era mendiang Presiden Bourghiba, beliau mengalokasikan sepertiga dari APBN untuk biaya pendidikan.Tidak hanya 20 persen. Sungguh luar biasa!

Ada sebuah obrolan antara mendiang Habib Borguiba – presiden Tunisia yang memerintah tahun 1957-1987 – dengan Muammar Kadafi, pemimpin Libya.Entah anekdot ini benar atau tidak, tapi patut juga diambil hikmahnya.

Suatu hari, Borguiba bertanya, “Mengapa uang Ente yang melimpah itu dihabiskan untuk membeli senjata?Bukan untuk pendidikan rakyat?”Kadafi menjawab, “Agar militerku kuat, sehingga Ane nanti tidak bisa dikudeta oleh rakyat”.Borguiba menjawab, “Dikudeta oleh rakyat yang berpendidikan, lebih terhormat daripada dikudeta oleh rakyat yang bodoh”.

Dan benar, pada akhirnya, Bourghiba pun dikudeta militer melalui revolusi damai tahun 1987, tanpa setetes pun darah yang tumpah. Sementara itu, Moammar Khadafi harus mengalami nasib naas. Kekuasaannya digulingkan rakyatnya sendiri tahun 2011 dan bahkan dirinya dijadikan boneka mainan sebelum tewas di tangan rakyatnya sendiri yang mayoritas masih berpendidikan rendah sehingga revolusi di Libia berdarah-darah hingga hari ini.

Tak hanya itu, baru-baru ini, Mesir bergejolak atasnama revolusi hingga Husni Mubarak harus rela melepaskan jabatannya, lalu revolusi itu menular ke negara lain seperti Maroko, Aljazair, Suria, Yaman, Libia termasuk juga Tunisia. Ketika semua negara itu bergejolak hingga menimbulkan korban, beda dengan Tunisia. Revolusi berlangsung damai dan hanya dalam waktu 3 hari, pemerintahan pulih kembali.Apa rahasianya? Jelas jawabnya adalah tingkat pendidikan warganya yang pintar dan berpikir moderat.

Pendidikan murah ala Tunisia terbukti hingga hari ini telah berhasil merevolusi mental rakyatnya. Rakyat Tunisia sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan sehingga sebesar apapun nafsu reformasi atau bahkan revolusi, mereka akan tetap menjauhi perbuatan destruktif dan anarkhisme, apalagi menumpahkan darah sesama warga negara.

Sekali lagi, mental rakyat yang lebih mengedepankan rasionalitas daripada emosi ini adalah berkat pendidikan.Oleh karena itu, kepedulian pemerintah Tunisia dan rakyatnya terhadap pendidikan, tidak hanya isapan jempol, tidak hanya berhenti pada tataran rapat di dewan atau aksi heroik pemerintah.Tapi, benar-benar diwujudkan dengan pengalokasian sepertiga APBN untuk pendidikan.Apa kabar Indonesia, berani?

Soesse, Tunisia, 5 Nopember 2015

*) Peserta POSFI Kemenag 2015, Alumnus PIQ Singosari, Dosen PBA FITK UIN Malang