FITK NEWS – International Webinar Series dalam rangka Kuliah Tamu  Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi PAI dan Interdisipliner yang berlangsung hari ini (07/10) di Meeting Room dan Zoom Meeting berlangsung seru. Tak hanya tema yang menarik tentang Pengembangan Research Culture bagi Sarjana Muslim”, para pemateri juga menyampaikan paparan dan sharing pengalaman yang tak kalah bagusnya untuk disimak. Bahkan di acara ini, akan ada follow up kolaborasi antara mahasiswa FITK UIN Maliki dengan mahasiswa University of Notre Dame America dalam riset dan webinar.

Dekan FITK Dr. H. Nur Ali, M.Pd menyampaikan tema webinar research culture sengaja dipilih untuk mengetahui perkembangan iklim riset di kampus luar negeri sehingga dapat menjadi inspirasi dan benchmark bagi pihak kampus untuk membuat terobosan riset yang inovatif. Tak hanya itu, lewat acara ini pihaknya berkomitmen akan mengadakan kerja sama berupa penelitian kolaboratif internasional tahun depan.

Prof. Dr. H. M. Zainuddin, M.A Rektor UIN Maliki dalam kesempatan tersebut menegaskan jika webinar akan ada follow up berupa kolaborasi antara kampusnya dengan University of Notre Dame. Sebab kolaborasi dengan kampus luar negeri akan  meneguhkan UIN Maliki menjadi World Class University sesuai road map 2021-2025. “Saya sangat senang sekali dengan tema webinar ini yaitu tentang research culture. Sebab tradisi riset merupakan salah satu tugas dosen yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi”, ujar Prof Zainuddin.

Dengan Riset, lanjut Prof Zainuddin, seorang peneliti akan melahirkan temuan yang objektif dan empirik. Sebab peneliti harus bisa membaca teks maupun konteks sebagai paradigma berpikir ilmiah. Ia menyontohkan dalam tradisi Islam sudah mengenal pengetahuan ilham atau intuisi, ilmu laduni, ilmu kasyaf, ilmu khuduri dan ilmu irfani dengan olah spiritual dan olah hati. Ada juga ilmu jarah wa ta’dil tentang penilaian sumber yang dijadikan sumber informasi.

Sementara itu Prof. Mun’im Sirry, Ph.D (Profesor Teolog dan Studi Islam University of Notre Dame America) mengawali paparannya dengan pertanyaan apa dan kenapa research culture. Ia mengatakan  bahwa research culture berdampak pada seluruh struktur dunia kampus meliputi integritas, keragaman riset, karir peneliti, bahkan reputasi kampus. Sebuah universitas diperhitungkan atau tidak bergantung pada kualitas hasil riset. “Orang yang berada di lingkungan yang mendukung budaya riset akan melakukan penelitian sepenuh hati dan produknya bisa dipublikasikan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait”, jelasnya.

Pria kelahiran Pulau Garam tersebut menambahkan di dunia ada dua model kampus yaitu research university, salah satunya seperti University of Notre Dame dan teaching university layaknya kebanyakan kampus di Indonesia. “Kampus di Indonesia lebih menekankan pengajaran dan pengabdian, kurang menekannya riset”, ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama ia juga menjelaskan tantangan dalam research culture. Pertama, tidak adanya keseimbangan beban mengajar dosen dan waktu riset. Jika rasio dosen dan mahasiswa tidak seimbang, dosen akan kesulitan untuk melakukan riset. Kedua, minimnya dana penelitian. Pemerintah sebenarnya sudah menganggarkan 20% APBN untuk dana pendidikan, sayangnya alokasi dana riset sangat kecil yaitu 0,09% saja. Ketiga, Iklim yang belum bersifat akademis karena masih banyak dosen yang terpecah perhatiannya, misalnya mengajar lebih dari dua lembaga pendidikan.

Untuk itu ia mengusulkan langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menciptakan iklim riset, di antaranya pada tataran level Institusi dan level individu dan kolektif. Untuk level Institusi dapat dilakukan dengan mobilisasi sumber daya seperti research center, faculty training & support program, research recognition dan network and collaboration. Selain mobilisasi, hal tersebut juga bisa dilaksanakan dengan internasionalisasi dengan mendorong sebanyak mungkin mahasiswa yang kuliah di luar negeri. “Mahasiswa Indonesia hanya 0,8% yang belajar di luar negeri. Jumlah ini tentunya sangat kecil dibanding dengan Malaysia 6.1%, Thailand 0,9% dan Vietnam 1,9%”, papar Prof Mun’im.

Sementara pada level individu dan kolektif, sambungnya,  digerakkan dengan interkoneksi antara institusi, pimpinan dan dosen. Yaitu agar dosen-dosen semakain produktif dalam riset yang berdampak positif pada lembaga. Tentunya harus diberikan support berupa penyediaan sumber referensi yang lengkap. “Kerja keras dengan terus menerus belajar dan jangan menunggu kebijakan dulu baru melakukan riset juga tak kalah penting untuk dilakukan. Bahkan di tengah keterbatasan, ulama zaman dahulu untuk mencari 1 hadis saja harus hijrah ke berbagai tempat untuk mencari data yang valid. Perjuangan mereka terbayarkan dengan menghasilkan karya berjilid-jilid yang masih eksis sampai sekarang”, ungkapnya.