Alqur’an dan Manajemen Kepemimpinan merupakan salah satu kajian yang sangat menarik khususnya bagi peneliti, dosen maupun mahasiswa yang mengkaji secara integratif ilmu manajemen pendidikan Islam. Berikut ini merupakan kajian Tafsir  Alquran yang memaparkan tentang Tafsir Alquran surat an-Nisa ayat 58 dan 59 oleh Prof. Dr. H. Nur Ali, M.Pd. Beliau adalah Dekan FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Para pemirsa, Sahabat Kampus yang berbahagia. Alhamdulillah, di hari ini kita memperoleh tema tentang surat an-Nisa ayat 58-59.  Makna “sumu tasikhu” bermakna ketika orang berpuasa maka teersebut menjadi sehat- lahir batin. Sehat dalam me-manage (segala hal). Sehat dalam me-manage diri. Sehat di dalam me-manage keluarga. Sehat di dalam me-manage masyarakat. Sehat di dalam  me-manage kampus sebagai bagaian dari amanah.

Di dalam surat ini disebutkan “Audzubillahiminasyaitonirojim. Innallāha ya`murukum an tu`addul-amānāti ilā ahlihā.  Artinya sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerima. Dari ayat tersebut terdapat kata kunci menyuruh dan kepada orang yang berhak menerimanya. Selanjutnya disambung dengan ayat wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumụ bil-‘adl  yang artinya ketika kita bergerak untuk menetapkan hukum diantara mereka (siapapun termasuk manusia, komunitas dan sebagainya) supaya kita menetapkannya dengan adil.  Pertanyannya, redaksi ayat tersebut kenapa kok begitu? Selanjutnya dilanjutkan dengan ayat innallāha ni’immā ya’iẓukum bih, innallāha kāna samī’am baṣīrā.

 Selanjutnya terbaca ayat, “Ya ayyuhalladzina amanu, athi’ullaha wa athiurrosul, wa ulilamri minkum. Fain tanaza’tum fi syai’ing farudduhu ilallahi war rasul ing kungtum tuminuna billahi wal yaumil akhir. Dzalika khoiruw wa ahsanu ta’wila.

Dua ayat di atas menarik untuk dikaji. Sebab dalam ayat tersebut terdapat aspek kepemimpinan, aspek manajemen, dan aspek prosedural.  Dalam aspek kepemimpinan ditegaskan bahwa  pemimpin harus melakukan dua hal yakni act the people and influence the people.  Dua kata tersebut dapat dimanai pemimpin adalah sosok yang menggerakkan dan mempengaruhi orang.

Manakala mengkaji kata menggerakkan dan mempengaruhi maka harus ada prosedur dan regulasi. Ketika membicarakan prosedur dan regulasi, maka manajemen menjadi menarik. Hal ini dikarenakan dalam  manajemen terdapat aspek mengumpulkan, menata, dan membagi tugas-tugas sesuai  dengan bidang keahliannya. Berdasarkan hal tersebut ada  istilah dalam keilmuan manajemen yakni the right man on the right place. Sebenarnya dalam dua ayat di dalam Quran tersebut sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh.

Sebenarnya ayat ini ketika turun ketika ada satu peristiwa menarik yakni ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi  Wasallam akan masuk Ka’bah.  Saat itu kemudian nabi menanyakan, siapa pejaga penjaga Ka’bah ini? Siapa juru kuncinya? Lalu nabi meminjam kuncinya untuk masuk Ka’bah.

Setelah masuk kemudian membersihkan berbagai hal di dalam Ka’bah. Kemudian Beliau keluar dan ketika keluar kuncinya dikembalikan lagi kepada penjaga Ka’bah. Selanjutnya ada sahabat yang bertanya,  Kenapa tidak kami saja wahai Nabi? Kemudian Nabi mengatakan bahwa ini harus diserahkan kepada ahlinya dan bukan tugas anda. Ini merupakan persoalan penting. Maka kita sebagai pemimpin tidak boleh memberikan tugas-tugas yang tidak pada tugasnya. Pemimpin tidak boleh menyuruh siapapun jika orang tersebut tidak memiliki hubungan dengan dirinya. Orang pun juga begitu, tidak diperbolehkan menyuruh sembarangan orang. Mendelegasikan tugas kepada seseorang  disesuaikan dengan passion-nya.

Manakala ada orang dinilai jelek dalam pekerjaannya, Lalu ditanya, “jeleknya itu karena yang bersangkutan tidak bisa atau pemimpin yang salah menempatkan dia?  Jangan-jangan pemimpin menyuruh orang tersebut bukan pada tempatnya. Tidak pada  passion-nya, tidak pada keahliannya sehingga dia mendapatkan penilaian jelek.

Berdasarkan hal itu, penilaian jelek yang diterimanya bukan karena semata-mata kesalahan dia. Penilaian kualitas jelek dari seseorang tadi dikarenakan prosedur, kepemimpinan seorang, atau bisa jadi manajemen kepemimpinan yang salah. Dalam konteks yang lain, apabila ditemukan ada anak nakal, pertanyaan lebih jauh lagi, apakah anak nakal ini karena orang tuanya yang tidak bisa me-manage regulasi-regulasi itu atau tidak? Dengan demikian salah dan jeleknya anak buah belum  tentu kesalahan dari anak buah yang jelek. Bisa jadi ujung permasalahannya terletak kepada pemimpinnya yang salah. Hal ini disebabkan karena tidak amanah, tidak bisa memberikan,  menempatkan, memberikan, menyuruh seseorang sesuai dengan bidang keahliannya. 

Lalu sesungguhnya pemimpin yang  amanah itu seperti apa? Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang tahu tugas pokok dan fungsinya.  Jangan mengedepankan pemimpinnya tetapi harus mengedepankan tugas pokok dan fungsi diri pemimpin. Sehingga pemimpin jangan sampai melampaui batas di dalam menyuruh orang. Jangan sampai melampaui batas di dalam melarang orang. Jangan sampai melampaui batas di luar tugas-tugas yang  diberikan.

Kembali ke Tafsir Alquran ayat surat an-nisa ayat 58 dan 59, apa implikasi surat dalam  konteks manajemen dan kepemimpinan yang ada di kampus? Pertama, me-manage diri. Kita sebagai khalifah fil ardh diperintah Allah, maka kita dikatakan melaksanakan amanah jika kita shalat dengan baik, mengeluarkan zakat, bahkan mengeluarkan apapun yang  diperintahkan oleh Allah tersebut berarti kita amanah. Dalam pengerian kita melaksanakan amanah Allah. Ini merupakan amanah kewajiban individu. Dengan demikian, bukan sekedar kewajiaban. Oleh karenanya, orang manakala mengerjakan sesuatu kemudian meninggalkan salat maka orang tersebut tidak amanah.  Hal tersebut dikarenakan tugas pertama manusia lahir adalah melaksanakannya Shalat. Jangan sampai sudah mendengarkan adzan, lalu kok rapat terus-terusan. Ini bukan perilaku amanah.

Tugas pertama manusia adalah shalat terlebih dahulu. Manakala sudah memasuki waktunya salat, kok masih rapat terus-terusan lalu kemudian sampai waktu salatnya habis, maka bisa menimbulkan kacau balau gara-gara ada rapat. Ini juga tidak amanah karena ada amanah yang lebih pokok lebih penting yakni amanah Allah. Apabila amanah Allah tidak dijalankan dengan baik, maka amanah yang baik adalah amanah yang pertama yakni amanah dari Allah. Selanjutnya barulah amanah dari urusan-urusan keduniaan. Maka berdasarkan hal tersebut, pemimpin harus mampu berbicara atas visi visi Ilahi. Selanjutnya barulah visi insaniah. Seringkali muncul visi insannya lebih dominan dibandingkan dengan visi ilahiyah kurang mendapatkan perhatian. Akhirnya melahirkan koruptor yang menyalahgunakan wewenang. Lahirlah sosok yang menyalahgunakan jabatan dan berbagai macam contoh lainnya. Inilah yang terjadi manakala visi insan yang lebih dominan daripada visi ilahiyah.

Bagaimana profil seorang pemimpin yang ideal terutama di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang? Pemimpin yang ideal adalah  pemimpin yang act the people. Maka ketika act the the people dan influence the people maka dia harus mendasarkan kepada visi Ilahi dan visi insaniah. Kedua, dia harus mampu dan melakukan komunikasi-komunikasi ilahiyah dan komunikasi insaniah. Dengan demikian, pemimpin harus taat agama. Sholatnya harus tertib. Doanya juga harus tertib. Pemimpin juga harus melakukan komunikasi Insaniyah. Dia harus memahami situasi, kondisi, dan suasana para orang-orang  yang dipimpin. Termasuk kepada watak, bakat, minat dan keahlian supaya nanti mampu menata, memerintah, dan menempatkan orang pada bidangnya.

Manakala orang yang ditempatkan oleh pemimpin dan pemimpin tersebut tidak mampu berkomunikasi dengan orang yang tidak sesuai bidang-bidangnya maka rata-rata orang itu dibilang jelek.

Sesungguhnya yang  jelek bukan orangnya, melainkan kemampuan pemimpin yang menempatkan posisi orang tersebut. Hal ini dikarenakan pemimpin tidak bisa menempatkan anak buahnya pada tempatnya. “Kalau tidak ada yang baik gimana?” maka harus melakukan yang disebut dengan  silaturahim yakni pemimpin harus memiliki jaringan sehingga bisa mengadakan diklat, bisa membimbing maupun aktivitas lainya. Aspek yang terakhir adalah pemimpin harus  mampu melakukan personifikasi visi. Ini mengandung pengertian manakala pemimpin tadi dipercaya memimpin kampus Islam, maka dirinya pun juga harus mendasarkan perilakunya pada nilai-nilai  keislaman, ilahiyah, dan insaniyah.

Jangan sampai pemimpin pada kampus Islam, salatnya menjadi tidak tertib. Ibadahnya tidak tertib,  kewajiban yang terkait dengan Ketuhanan, tidak dilakukan. Termasuk yang paling terlihat adalah membaca al-Qurannya pun juga harus fasih. Pemimpin adalah cerminan dari yang dipimpin .

Seorang pemimpin sebelum memimpin harus memiliki minimal tiga hal:  Pertama adalah kompetensi  yang terkait dengan bidang yang ditekuninya.  Kedua pemimpin harus memiliki keterampilan untuk melakukan tugas-tugas yang terkait yang dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan literasi data,  literasi tulis, literasi berbicara dan literasi yang paling penting adalah saatnya adalah literasi IT (Information Technology) dan literasi data.  Kalau seseorang memiliki kompetensi literasi data maka dia tidak gampang menyalahkan orang lain. Dia tidak gampang menuduh orang lain karena dia  senantiasa berbicara dan bertindak  berbasis data yang valid dan objektif. Ketiga, dia harus  memiliki  keterampilan afektif sehingga dia mampu menempatkan diri ketika berbicara dengan yang senior dan  berbicara  dengan Yunior. Mampu memposisikan berbicara dengan lawan politik atau lawan jenis atau dengan orang-orang yang lain.

 Ada orang sebetulnya memiliki kemampuan bagus tapi hanya gara-gara kompetensi afektif tidak dimilikinya maka kesannya,  orang tersebut menjadi jelek. Kompetensi afektif sangat relevan dengan  persoalan-persoalan sosial budaya.  Ada orang sebenarnya menghormati orang itu tapi karena kurangnya wawasan mengenai adat istiadat maka orang tersebut dilabeli dengan orang yang tidak sopan. Padahal sebenarnya orang tersebut sudah sopan.  Maka apabila pemimpin memiliki anak buah yang memiliki tradisi yang berbeda, maka jangan  gampang mengatakan bahwa anak buah tersebut dinilai jelek dan tidak punya sopan santun.  Maka sebaiknya dipahami terlebih dahulu.

Oleh karenanya, carilah analisis diri, “kita ini ahli di bidang apa? Kedua kita ini memiliki kelemahan di  bidang apa? Dari situ kita bisa menempatkan diri ketika kita pada posisi yang lemah. Dengarkanlah orang lain. Pahamilah orang lain. Dengan mendengarkan dan memahami itu, InsyAllah kita bisa  menempatkan diri. Dengan menganalisis diri itu,  kalau kita ditawari jabatan-jabatan atau tugas-tugas baru ternyata tidak pada bidangnya, kita  menyampaikan, “Untuk bidang itu, kami tidak  memiliki kemampuan. Untuk itu, kami siap belajar, siap untuk dididik. Namun jika kami dikasih jabatan atau tugas di tempat tertentu yang itu merupakan keahlian kami, kami akan siap bahkan  dalam waktu tertentu, lembaga ini bisa menjadi bagus. Ada target dan sasaran.” Itu harus gentle. “Kalau saya dikasih jabatan ini, dalam  waktu satu semester akan naik grade-nya  menjadi sekian tapi jika dikasih tempat yang ini, mohon maaf kami belum bisa menjamin untuk maksimal kecuali kami  dididik dan di sekolahkan lagi di bidang itu.”

Insya Allah orang itu tidak akan terjadi kesalahpahaman. Insyaallah, orang  tidak akan saling  membully. Saling menjelek-jelekkan karena kesalahan bagaimanapun bisa juga terjadi dari  pemimpin yang menyuruh, bukan anak buah  yang disuruh.

Penyelaras: Angga Teguh Prastyo, M.Pd. Dosen Prodi MPI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang