Dalam kehidupan, semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan, daun yang jatuh sekalipun tidak luput dari ketentuan yang sudah digariskan-Nya. Kejadian demi kejadian terus berlanjut menyisakan duka mendalam bagi kita. Siapa pun tidak berharap akan terjadinya musibah itu.

Dalam kehidupan, semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan, daun yang jatuh sekalipun tidak luput dari ketentuan yang sudah digariskan-Nya. Kejadian demi kejadian terus berlanjut menyisakan duka mendalam bagi kita. Siapa pun tidak berharap akan terjadinya musibah itu. Seolah-olah musibah terus menghantui. Namun, musibah itu telah terjadi. Terlepas dari penyebabnya apakah murni faktor alam atau kesalahan manusia. Jika kita terus berprasangka baik kepada Allah, tentu akan mendatangkan hikmah dari kejadian ini. Karena, kita percaya bahwa setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah menguatkan kesabaran. Jika kita terus berupaya sabar, terlebih ini adalah sabar dalam beribadah, Allah SWT akan selalu menyertai kita dan memberikan petunjuk-Nya. Kesabaran yang kita miliki mempunyai arti penting dalam menghadapi pelbagai musibah. Keluhan, rasa sakit, dan segala ketidaknyamanan akan berganti dengan perasaan lapang. Prasangka buruk, waswas, dan perasaan gelisah akan hilang digantikan oleh ketenangan.

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Sabar yang dipuji ada beberapa macam, pertama, sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Kedua, sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Ketiga, sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan….”.

Dari Shuhaib, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin, setiap perkara baik baginya dan hal ini tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia diberikan kesenangan, ia bersyukur dan hal ini baik baginya dan jika ia ditimpa musibah, ia pun bersabar dan hal ini baik baginya.” (HR Muslim)
Dalam kitab al Minhaj Syarh Sahih Muslim, Ibnu Atha menuturkan, “Sabar adalah menyikapi musibah dengan cara yang baik.” Karena dengan sikap terbaiklah, segala perkara akan menjadi lebih baik. Yakinlah bahwa akan ada hikmah di balik segala musibah. Allah Maha Pemilik segala sesuatu mempunyai rencana setelah kejadian ini.

Allah berfirman, “Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (tidak taat kepada Allah).” (QS Al-Ahqaf: 35).

Semua nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang sabar. Dari sekian banyak nabi dan rasul, ada yang dikenal dengan sebutan rasul Ulul Azmi. Mereka ini adalah para nabi dan rasul yang paling penyabar di antara yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ulul Azmi berarti pemilik keteguhan hati.

Nabi Nuh disebutkan berdakwah dengan begitu sabar selama 950 tahun, mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tetapi hanya sedikit yang mengikuti beliau.

Allah berfirman “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.(QS al-‘Ankabuut: 14).

Nabi Ibrahim disebutkan berdakwah dengan sangat sabar tidak hanya kepada kaumnya, tetapi juga kepada Azar, ayahnya, sang pembuat berhala, dan seorang raja yang kejam bernama Namrud.

 Allah berfirman “Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim Berkata kepada bapaknya, Aazar[489], “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-An’am: 74).

Ibrahim bahkan harus menjalani siksaan kejam, yakni dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tapi Allah menyelamatkannya sehingga tidak mempan dibakar.

Nabi Musa juga sangat sabar menghadapi kaumnya, Bani Israil, yang suka ngeyel dan ingkar janji. Padahal, Allah telah melimpahkan kepada mereka begitu banyak nikmat, misalnya, diselamatkan dari kekejaman Fir’aun serta diberikan makanan berupa manna dan salwa.

Allah berfirman “Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkan kamu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu mann dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, sungguh, binasalah dia.”

(QS Thaahaa: 80-81)

Nabi Isa juga begitu sabar menghadapi kaumnya yang mengingkari Allah dan mendustakan dakwahnya. Tidak hanya itu, sebagian mereka malah ada yang menganggap Isa sebagai Tuhan. Sesuatu yang sangat keras dibantah oleh beliau.

Alquran menyebutkan, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?’ (Isa) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'” (QS al-Maa’idah [5]: 116).

Nabi Muhammad, rasul terakhir sekaligus penutup para rasul, tidak kurang sabarnya seperti para rasul sebelumnya. Pada ayat di awal tulisan ini disebutkan, Allah memang telah menyuruh beliau untuk bersabar. Beliau tidak boleh mendoakan hal-hal buruk kepada kaumnya, seperti berdoa agar disegerakan azab atau siksa kepada mereka.

Allah menegaskan, tugas beliau dan para rasul terdahulu hanyalah menyampaikan risalah. Soal hidayah ada di tangan Allah. Selama lebih kurang 23 tahun: 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, Rasulullah berdakwah dengan sangat sabar dan tekun. Pada akhirnya, hasilnya sungguh mencengangkan. Dalam tempo itu, seluruh jazirah Arab mayoritas telah menjadi Muslim yang kemudian menyebar ke pelbagai belahan.