Dilahirkan di lingkungan agamis dan besar dalam pendidikan madrasah tidak menjamin seseorang mencintai bahasa Arab. Sejak kecil, didikan agama oleh keluarga sangat terasa. Mulai dari pembelajaran ranah ubudiyah, seperti mengaji Al-Qur‟an, keaktifan dalam sholat berjemaah, ranah muamalah yang meliputi adab tata krama

My Arabic‟s Journey

Oleh Alfiyah Rizzy Afdiquni (Mahasiswa PBA Angkatan 2016)

 

Dilahirkan di lingkungan agamis dan besar dalam pendidikan madrasah tidak menjamin seseorang mencintai bahasa Arab. Sejak kecil, didikan agama oleh keluarga sangat terasa. Mulai dari pembelajaran ranah ubudiyah, seperti mengaji Al-Qur‟an, keaktifan dalam sholat berjemaah, ranah muamalah yang meliputi adab tata krama halus ala Madura; cara bicara, hingga cara berpakaian, bagaikan aturan tak tertulis yang telah mendarah daging, and I‟m so grateful about that. Alhamdulillah.

Tak dapat dipungkiri, saya merupakan produk Kementrian Agama. Saat tingkatan dasar, saya bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Huda Bangkalan, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bangkalan, Madrasah Aliyah (MA) Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan nyambi mondok. Usai dinyatakan lulus pondok, orang tua menyuruh saya melanjutkan jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sekali lagi, latar belakang keluarga dan pendidikan yang agamis tak mampu membentuk pribadi yang mencintai bahasa Arab. Saya yang remaja kala itu, justru tertarik dengan bahasa Inggris dan dunia Korean wave yang notabene sangat jauh dengan nilai-nilai Islam.

Jika boleh menilai, alasan utama mengapa tidak begitu tertarik dengan bahasa Arab karena pembelajarannya terkesan monoton dan guru-guru belum mampu memikat hati saya secara utuh. Hal ini didukung dengan streotype bahasa Arab yang hanya sekadar bahasa agama, klasik, dan tidak gaul untuk remaja saat itu, bahkan hingga kini. Bahasa Arab saat itu tidak memiliki kedudukan spesial di hati kami. Sama seperti matematika, yang mendapat cap mata pelajaran dibenci anak-anak pada umumnya, saya memilih bahasa Arab masuk pada list mata pelajaran yang tidak saya sukai.

Lalu, mengapa akhirnya saya banting setir ke PBA? Tentu faktor pertama dan utama adalah sam‟an wa tho‟athan kepada Abi tercinta. Beliau, sosok yang mencintai agama dan bahasa Arab, kitab kuning dan lain-lain, tentu menginginkan putri kesayangannya menekuni hal yang sama. Beliau juga berdawuh, menuntut ilmu agama akan membawa keberkahan kepada pelajar itu sendiri dan keluarganya. Konsep tersebut yang selalu Abi tanamkan agar saya tidak merasa salah jurusan, tidak merasa sendiri mengarungi kehidupan ini, dan selalu merasa termotivasi agama dalam menjalaninya. Walaupun sejak MI, saya sudah menyukai bahasa Inggris, namun di hati kecil saya, saya meyakini bahwa saya sangat menaruh porsibesar kepadabahasa Arab, bahasaagamasaya. Ya, didikan agama yang kental sejak kanak-kanak membentuk mindset kuat untuk legowo terjun langsung di jurusan ini. Di sini, saya ingin memberi tahu kepada pembaca budiman, sungguh sangat penting mendidik karakter anak dengan balutan agama, karena kelak mereka memiliki pijakan melalui pertimbangan agama di dalamnya.

Ketika menjalani awal perkuliahan, rasa campur aduk terasa. Ada perasaan syukur, bangga, takut, minder, culture shock. Namun, setelah belasan purnama berlalu, saya menjadi semakin bersyukur. Di sini dikumpulkan oleh teman-teman hebat, dosen-dosen spektakuler yang mengemas perkuliahan bagai seminar-seminar. Semoga Allah Swt. merahmati mereka semua. Aamiin.

Saya berharap, ke depannya tidak ada lagi anak-anak Islam yang bernasib sama seperti saya. Tentu untuk membumikan bahasa Arab merupakan pekerjaan rumah (PR) besar kita semua, baik akademisi, Kementrian Agama, dan umat Islam di Indonesia pada umumnya. Seperti dawuh Habib Ismail Fajrie Alatas, cendekiawan muslim Indonesia, bahwasanya pendidikan Islam harusnya membentuk manusia Muslim yang sejati, yang cinta dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Dalam hal ini, sebagai anak muda Muslim Indonesia, sudah selayaknya kita mampu menyeimbangkan bahasa Inggris dan bahasa Arab agar mampu membuka tabir pengetahuan dunia Barat dan Timur. Tahiyyah Arobiyyah!

Tulisan ini telah dimuat di: https://www.kompasiana.com/alfiyahrizzya/5c8ed2570b531c703f5d 7b64/my-arabic-s-journey